Harga
rumah di Indonesia naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun,
kalangan ekonom memandang kenaikan harga yang terjadi di beberapa
wilayah di Indonesia melambung terlalu tinggi di luar batas kewajaran
karena tidak adanya lembaga yang mengatur batasan harga hunian yang
wajar.
Dalam diskusi berjudul Pembiayaan Property (Perlindungan Konsumen,
Inden, Inhouse) di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Direktur
Jenderal Pembiayaan Perumahan Maurin Sitorus menanggapi pandangan
tersebut. Menurutnya, mulai periode pemerintahan saat ini masalah
lonjakan harga rumah mendapat perhatian.
“Khusus untuk rumah subsidi yang diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), harga rumah diatur dan ditetapkan. Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan adalah Peraturan Menteri Keuangan dan aturan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” ujar Maurin dalam diskusi tersebut, Jumat (19/2).
Misalnya, kata dia, harga rumah subsidi bagi MBR di Papua ditetapkan harganya maksimal Rp103 juta, kemudian di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) ditetapkan sekitar Rp142 juta per unit.
Bukan hanya harga yang diatur oleh Pemerintah, kenaikan harga per tahunnya pun juga diatur.
“Maksimal 5% per tahun. Sehingga dari segi rumah tetap ada kenaikan namun tetap bisa dijangkau oleh MBR yang kenaikan upahnya sangat bergantung pada kondisi perekonomian yang pertumbuhannya juga di kisaran tersebut,”jelas dia.
MBR dalam kacamata pembiayaan adalah mereka yang berpenghasilan maksimal Rp4 juta per bulan dan ingin memiliki rumah tapak, dan Rp7 juta per bulan bagi mereka yang ingin memiliki rumah susun yang disubsidi pemerintah dalam bentuk subsidi bunga KPR menjadi hanya 5% tetap selama 25 tahun, uang muka ringan hanya 1% dan bantuan uang muka perumahan hingga Rp4 juta per rumah.
Namun, aturan harga dan kenaikan harga rumah itu tidak menyentuh sektor hunian komersial dan mewah. Menurut maurin, rumah komersial adalah objek penjualan yang menggerakkan industri properti.
Oleh sebab itu, jika pemerintah terlalu ketat mengatur sektor komersial maka iklim usaha di industri ini menjadi tidak kondusif.
“Jangan sampai, karena Pemerintah terlalu ketat, industri yang sudah berjalan ini malah rusak. Jadi untuk hunian komersial biarkan saja bergerak sesuai mekanisme pasar. Biar pasar yang menentukan. Yang penting kan yang subsidi ini kan kita jaga agar tidak ikutan dijadikan bahan spekulasi,” pungkas Maurin.
Sebelumnya, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan harga hunian di beberapa wilayah di Indonesia meningkat terlalu tinggi. Penyebabnya kata dia, dikarenakan Indonesia tidak memiliki lembaga khusus yang mengatur dan mengawasi perkembangan harga rumah.
“Masalahnya, di Indonesia itu nggak ada lembaga yang mengatur harga properti. Harga rumah tumbuh terlalu cepat tanpa dimbangi dengan kenyataan yang sebenarnya daya beli masyarakat tidak tumbuh secepat itu,” ujar dalam diskusi yang sama. (dtc)
Sumber : http://harian.analisadaily.com/ekonomi/news/harga-rumah-di-indonesia-melambung-tinggi/215325/2016/02/20
“Khusus untuk rumah subsidi yang diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), harga rumah diatur dan ditetapkan. Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan adalah Peraturan Menteri Keuangan dan aturan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” ujar Maurin dalam diskusi tersebut, Jumat (19/2).
Misalnya, kata dia, harga rumah subsidi bagi MBR di Papua ditetapkan harganya maksimal Rp103 juta, kemudian di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) ditetapkan sekitar Rp142 juta per unit.
Bukan hanya harga yang diatur oleh Pemerintah, kenaikan harga per tahunnya pun juga diatur.
“Maksimal 5% per tahun. Sehingga dari segi rumah tetap ada kenaikan namun tetap bisa dijangkau oleh MBR yang kenaikan upahnya sangat bergantung pada kondisi perekonomian yang pertumbuhannya juga di kisaran tersebut,”jelas dia.
Siap Huni Type 42 Maruyung Depok |
MBR dalam kacamata pembiayaan adalah mereka yang berpenghasilan maksimal Rp4 juta per bulan dan ingin memiliki rumah tapak, dan Rp7 juta per bulan bagi mereka yang ingin memiliki rumah susun yang disubsidi pemerintah dalam bentuk subsidi bunga KPR menjadi hanya 5% tetap selama 25 tahun, uang muka ringan hanya 1% dan bantuan uang muka perumahan hingga Rp4 juta per rumah.
Namun, aturan harga dan kenaikan harga rumah itu tidak menyentuh sektor hunian komersial dan mewah. Menurut maurin, rumah komersial adalah objek penjualan yang menggerakkan industri properti.
Oleh sebab itu, jika pemerintah terlalu ketat mengatur sektor komersial maka iklim usaha di industri ini menjadi tidak kondusif.
“Jangan sampai, karena Pemerintah terlalu ketat, industri yang sudah berjalan ini malah rusak. Jadi untuk hunian komersial biarkan saja bergerak sesuai mekanisme pasar. Biar pasar yang menentukan. Yang penting kan yang subsidi ini kan kita jaga agar tidak ikutan dijadikan bahan spekulasi,” pungkas Maurin.
Sebelumnya, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan harga hunian di beberapa wilayah di Indonesia meningkat terlalu tinggi. Penyebabnya kata dia, dikarenakan Indonesia tidak memiliki lembaga khusus yang mengatur dan mengawasi perkembangan harga rumah.
“Masalahnya, di Indonesia itu nggak ada lembaga yang mengatur harga properti. Harga rumah tumbuh terlalu cepat tanpa dimbangi dengan kenyataan yang sebenarnya daya beli masyarakat tidak tumbuh secepat itu,” ujar dalam diskusi yang sama. (dtc)
Sumber : http://harian.analisadaily.com/ekonomi/news/harga-rumah-di-indonesia-melambung-tinggi/215325/2016/02/20